Senin, 16 April 2012

Teknologi Satelit Altimetri

Bagi negara maritim seperti Indonesia, kebutuhan akan informasi mengenai dinamika laut, sangat diperlukan dalam menunjang studi ilmiah maupun aplikasi praktis yang berhubungan dengan kelautan. Perkembangan iptek pada awal 1970an mengenai ilmu kelautan makin pesat dengan diluncurkannya satelit altimetri yang membawa misi mengamat topografi dan dinamika laut secara global.

Satelit altimetri yang diluncurkan memiliki karakteristik yang berbeda-beda dimana untuk mendapatkan ketelitian dalam hal spasial yang baik maka akan mengesampingkan resolusi temporal dan sebaliknya. Topex/Poseidon dan Jason-1 merupakan satelit dengan resolusi temporal yang baik dengan ground track sejauh 315 km sedangkan Envisat merupakan satelit dengan resolusi spasial yang baik dengan ground track sejauh 80 km. Sehingga perlu dilakukan interpolasi untuk mendapatkan nilai tinggi muka air laut sesaat pada lokasi antara lintasan orbit yang bersebelahan pada pengolahan data single satelit. Namun dengan menggunakan data dari beberapa satelit yang memiliki karakteristik berbeda diharapkan dapat meningkatkan resolusi spasial data pengukuran.

Prinsip Dasar

Konsep dasar dari satelit altimetri adalah mengukur jarak dari satelit terhadap permukaan air laut dengan memanfaatkan interval waktu perambatan gelombang radar yang dipancarkan satelit, kemudian dipantulkan oleh permukaan air dan diterima kembali oleh satelit (NASA/CNES, 1992). Dengan diketahui tinggi satelit terhadap elipsoid referensi maka dapat dihitung tinggi permukaan air laut terhadap elipsoid referensi. Dikarenakan muka air laut yang selalu dinamis, pengukuran tidak sebatas pada satu titik namun didapat dari hasil rerata nilai dari area footprint sinyal. Dengan asumsi refraksi pada kecepatan cahaya diabaikan, maka persamaan berikut menggambarkan jarak yang ditempuh sinyal satelit (Chelton et al, 2001).


Gambar (1) menjelaskan mengenai geometri posisi satelit terhadap geoid dan elipsoid. Posisi satelit direferensikan terhadap elipsoid berdasarkan pengamatan GPS. Jika H adalah tinggi satelit dengan referensi elipsoid dan d merupakan jarak antara permukaan laut dengan satelit, maka h merupakan jarak antara permukaan laut dengan elipsoid atau secara konsep disebut Sea Surface Height (SSH).

h=H-1

Tinggi muka air laut dipengaruhi secara langsung oleh ketelitian dari penentuan undulasi geoid terhadap bidang elipsoid Hg, variasi tinggi pasang surut ht, pengaruh tekanan atmosfer terhadap permukaan laut ha. Hubungan pengaruh tersebut pada tinggi muka air laut dinamik dapat dijelaskan pada persamaan berikut.



Efek Geophysical Surface merupakan pengaruh undulasi geoid terhadap elipsoid sehingga digunakan untuk mendapatkan SSH di atas geoid. Efek pasut dan tekanan udara adalah faktor yang mempengaruhi ketinggian muka air laut di suatu wilayah. Efek pasut terdiri dari Solid Earth Tide, Earth Ocean Tide, dan Pole Tide. Sedangkan faktor tekanan udara mengindikasikan bahwa setiap kenaikan tekanan 1 mbar pada atmosfer akan mengakibatkan turunnya ketinggian muka air laut sebesar 1 cm.




Satelit TOPEX/Poseidon dan Jason-1

Satelit TOPEX/Poseidon yang diluncurkan pada Agustus 1992 merupakan hasil kerjasama antara badan antariksa Amerika NASA (National Aeronatics and Space Administration) dengan badan antariksa Prancis CNES (Centre National d’Etudes Spatiales). Tujuan utama dari misi TOPEX/Poseidon adalah (Benada, 1997) :
Mengukur tinggi muka air laut untuk tujuan studi dinamika laut yang mencakup hitungan rerata maupun variasi arus permukaan dan pasang surut lautan secara global
Memproses, memverifikasi, dan mendistribusikan data TOPEX/Poseidon beserta data geofisika lainnya kepada pengguna
Meletakkan pondasi bagi keberlanjutan program pengamatan sirkulasi laut dan variasinya dalam jangka waktu yang panjang.



Karakteristik dari satelit TOPEX/Poseidon digambarkan dalam Tabel (4) berikut.

Tabel 1. Karakteristik dari satelit TOPEX/Poseidon


Karakteristik Utama
Setengah sumbu panjang                         7714.4278 km
Eksentrisitas                                             0.000095
Inklinasi bidang orbit                               66.04
Argumen of perigee                                  90
Asensiorekta ascending                           116.56
Anomali rerata                                         253.13

Data Tambahan
Tinggi referensi (ekuatorial)                    1336 km
Periode satu lintasan orbit                       6745.72 detik
Resolusi temporal (cycle)                         9.9156 hari
Jumlah revolusi dalam satu cycle             127
Jarak antar lintasan pada ekuator           315 km
Sudut lintasan terhadap ekuator             39.5
Kecepatan orbit                                        7.2 km/detik
Kecepatan permukaan (ground track speed) 5.8 km/detik



Satelit TOPEX/Poseidon memberikan data terakhirnya pada 4 Oktober 2005 pada cycle ke-481. Misi TOPEX/Poseidon berakhir secara resmi pada tanggal 18 Januari 2006 untuk kemudian dilanjutkan oleh satelit Jason-1. Satelit Jason-1 yang diluncurkan pada 7 Desember 2001 merupakan hasil kerjasama antara NASA dengan CNES. Satelit Jason-1 adalah misi lanjutan dari TOPEX/Poseidon dan mempunyai karakteristik serta tujuan yang sama dengan pendahulunya yaitu untuk mengamati tinggi muka air laut secara global.

Berikut adalah aplikasi dari satelit Jason-1 :
Oseanografi. Mengamati variasi lautan global merupakan misi utama dari Jason-1. Orbit dari Jason-1, yang identik dengan TOPEX/Poseidon, dapat mencakup 90% dari seluruh lautan di dunia setiap 9.9156 hari.
Klimatologi dan prediksi iklim. Data altimetrik sangat dibutuhkan dalam mempelajari dan memprediksi iklim, pada fenomena-fenomena seperti El Nino.

Satelit Envisat

Satelit Envisat diluncurkan pada Maret 2002 oleh European Space Agency dengan tujuan utama menyediakan data pengamatan dari atmosfer, lautan global, dan es. Envisat mempunyai karakteristik orbit sun synchronous dengan parameter sebagai berikut :

Tabel 2. Karakteristik dari satelit Envisat

Karakteristik Utama
Setengah sumbu panjang                             7159.5 km
Inklinasi bidang orbit                                   98.55
Tinggi referensi rerata (ekuatorial)             799.8 km
Periode satu lintasan orbit                           6035.4 detik
Resolusi temporal (cycle)                             35 hari
Kecepatan orbit                                            7.45 km/detik



Kesalahan pada Pengukuran Satelit Altimetri

Data yang didapat berdasarkan pengamatan satelit altimetri lebih rentan akan noise bila dibandingkan dengan data dari stasiun pasut. Oleh karena itu dibutuhkan solusi yang kompleks untuk mengeliminasi kesalahan tersebut. Kesalahan dan bias pada pengamatan satelit altimetri dapat dibedakan menjadi 5, yaitu (Chelton et al, 2001) :
Kesalahan pada instrument, antara lain bias antena dan bias pada instrumen Doppler

Kesalahan yang termasuk akibat instrumen antara lain :
Kesalahan akibat perbedaan jam waktu

Kesalahan ini terjadi dikarenakan adanya keterbatasan ketelitian perekaman waktu saat gelombang elektromagnetik dipancarkan dari satelit dan diterima kembali oleh satelit.
Kesalahan Doppler shift

Kesalahan yang terjadi akibat pergeseran frekuensi Doppler yang diakibatkan oleh kecepatan radial satelit yang berakibat adanya perlambatan waktu pengukuran yang kemudian mempengaruhi ukuran jarak.
Bias antena

Proses hitungan posisi satelit dari muka air laut sesaat didasarkan pada titik pusat massa dari satelit sedangkan proses pengukuran jarak altimeter mengacu pada posisi antena radar altimeter yang tidak terletak pada titik pusat massa satelit. Oleh karena itu perlu diketahui posisi antena terhadap pusat massa sebelum satelit diluncurkan.
Kesalahan orbit

Kesalahan orbit terjadi dikarenakan adanya gangguan pada orbit, model yang digunakan dalam penentuan orbit kurang akurat, dan kesalahan dalam sistem penjejakan.
Kesalahan pada media rambat, antara lain koreksi ionosfer dan koreksi troposfer

Koreksi pada media rambat perlu dilakukan karena adanya gangguan selama gelombang melewati atmosfer. Koreksi ini meliputi koreksi ionosfer, koreksi troposfer kering, dan koreksi troposfer basah,
Bias geofisik eksternal, antara lain akibat undulasi geoid dan tekanan udara. Koreksi geofisik meliputi koreksi pasut laut, koreksi pasut bumi padat, pasut kutub, dan pasut atmosfer.
Bias dari media pantul, antara lain bias pada gelombang elektromagnetik serta skewness bias. Bias ini dikarenakan bentuk dan tinggi muka air laut yang selalu bergerak dan sangat heterogen.


Pustaka :

http://www.aviso.oceanobs.com/ (akses bulan Maret 2009).

http://www.podaac.jpl.nasa.gov/ (akses bulan Maret 2009).

http://www.envisat.esa.int/ (akses bulan April 2009).

AVISO - PO.DAAC, 2008, User Handbook : IGDR and GDR Jason Products, USA-Prancis.

Benada, J.R., 1997, PODAAC MGDR-B (TOPEX/Poseidon) User’s Handbook, Jet Propulsion Laboratory, NASA, USA.

Chelton, D.B., B.J. Haines, J.C. Ries, L.-L.Fu, P.S. Callahan, 2001, in: Satellite Altimetry and Earth Sciences, Ed: L.-L. Fu dan A.Cazenave, International Geophysics Series, Vol. 69, pp. 1 to 128, Academic Press, San Diego.

NASA – CNES, 1992, Mission to Planet Earth - TOPEX/Poseidon, USA-Prancis.

Sekilas Tentang Side Scan Sonar

Teknologi Side Scan Sonar telah dikembangkan pada awal tahun 1960 oleh Dr.Harold Edgerton dari Massachusetts Institute of Technology. Beliau disana sebagai Professor di bidang teknik elektro. Sebelumnya Edgerton telah membuat alat high-speed flash photography pada tahun 1930-an. Dia menemukan bahwa fotografi elektrik tersebut tidak dapat bekerja dalam air, oleh karena itu dia mencoba mengganti denyut pulsa elektrik dengan pulsa akustik. Dengan mengirim energy pulsa akustik dan merekam hasil pantulannya, Edgerton mulai menarik tow dengan kapal dan membuat gambar secara berkelanjutan dari permukaan dasar laut.

Gambar. Dr Harold Edgerton yang sedang berada di labnya.

Pada tahun 1963, Edgerton menggunakan Side scan sonar untuk menemukan kapal Vineyard diteluk Buzzards, Massachusetts. Selanjutnya pada tahun 1963-1967, bersama timnya yang di pimpin oleh Martin Klein membuat tow dengan system dual-channeldengan system side scan sonar untuk pertama kalinya. Alat ini telah menolong Alexander Mckfee untuk mencari Raja Henry VIII yang tenggelam bersama kapalnya Mary rose pada tahun 1967. (Tritech International Limited, 2008)

Side Scan sonar (SSS)

Side Scan Sonar mempunyai kemampuan menggandakan (menduplikasikan) beam yang diarahkan pada satu sisi ke sisi lainnya. Sehingga kita bias melihat ke kedua sisi, memetakan semua area penelitian secara efektif dan menghemat waktu penelitian. SSS menggunakan Narrow beam pada bidang horizontal untuk mendapatkan resolusi tinggi di sepanjang lintasan dasar laut (Klien Associates Inc, 1985).

SSS menggunakan prinsip backscatter akustik dalam mengindikasikan atau membedakan kenampakan bentuk dasar laut atau objek di dasar laut (Russel, 2001 dalam Edi, 2009). Material seperti besi, bongkahan, kerikil atau batuan vulkanik sangat efisien dalam merefleksikan pulsa akustik (backscatter kuat). Seimen halus seperti tanah liat, lumpur tidak merefleksikan pulsa suara dengan baik (backscatter lemah). Reflektor kuat akan menghasilkan pantulan backscatter yang kuat sedangkan rflektor lemah menghailkan backscatter yang lemah. Dengan pengetahuan akan karakteritik ini, pengguna SSS dapat menguji komposisi dasar laut atau objek dengan mengamati pengembalian kekuatan akustik (Tritech International Limited, 2008)

Prinsip pendeteksian dan interpretasi

Side Scan Sonar (SSS) dapat dipasang pada lunas kapal atau ditarik di belakang kapal. Ilustrasi pemasangan SSS menggunakan towed body dapat dilihat pada gambar 3 (a). Pada gambar tersebut terlihat bahwa SSS mentransmisikan pulsa akustik secara menyamping terhadap arah perambatan. Dasar laut dan objek merefleksikan kembali (backscatter) gelombang suara pada system sonar. Instrumen SSS mendekati objek tiga dimensi dan menampilkan objek tersebut dalam bentuk citra dua dimensi. Oleh karena itu, SSS tidak hanya menampilkan objek, melainkan juga bayangan objek tersebut. Pembentukan objek bayangan SSS di ilusrasikan pada gambar 3 (b).

Keterangan pada gambar 3 adalah ebaga berikut. (1) nilai kedalaman dari lintasan akustik, (2) sudut beam vertikal, (3) jarak akustik maksimum, (4) lebar sapuan lintasan dasar laut, (5) jarak SSS dengan permukaan air, (6) jarak pemisah antara port channel dan starboard channel, (7) lebar beam horizontal, (8) panjang bayangan akustik yang disesuaikan dengan tinggi target, (A) area sebelum pengambilan first bottom (pada daerah ini tidak ada suara yang dihamburkan dan ditandai dengan warna hitam), (B) dan (F) tekstur dasar laut, (C) sudut objek yang bersifat sangat memantulkan dengan intensitas yang paling terang, (D) objek yang memantulkan dan (E) bayangan dari target akustik (tidak ada pantulan disini)



Gambar Ilustrasi (a) pendektesian objek oleh SSS, (b) pembentukan objek dan bayangan pada SSS (Tritech International Limited, 2008), Sumber gambar : www.starfishsonar.com

Pengolahan data SSS terdiri dari dua tahapan, yakni real time processing dan post processing. Tujuan real time processing adalah untuk memberikan koreksi selama pencitraan berlangsung sedangkan tujuan post processing adalah meningkatkan pemahaman akan suatu objek melalui interprestasi (Mahyuddin, 2008 dalam Edi, 2009). Penelitian yang dilakukan ini, pengolahan datanya adalah post processing.

Interpretasi pada post processing dapat dilakukan secara kulaitatif maupun kuantitatif. Interprestai secara kualitatif dilakukan untuk mendapatkan sifat fisik material dan bentuk objek, baik dengan mengetahui derajat kehitaman (hue saturation), bentuk (shape) maupun ukuran (size) dari objek atau target.

Secara umum, berdasarkan bentuk eksternalnya, target dapat dibedakan menjadi buatan manusia (man made targets) atau objek alam (natural targets). Pada umunya, objek buatan manusia memiliki bentuk yang tidak beraturan (Klien Associates Inc, 1985).

Interprestasi secara kuantitatif bertujuan untuk mendefinisikan hubungan antara posisi kapal, posisi towfish dan posisi objek sehingga diperoleh besaran horisontal dan besaran vertikal. Besaran horisontal meliputi nilai posisi objek ketika lintasan towfish sejajar dengan lintasan kapal maupun ketika lintasan dengan towfish membentuk sudut. Besaran vertikal meliputi tinggi objek dari asar laut serta kedalaman objek (Mahyuddin, 2008).

Daftar Pustaka

Edi, B.P. 2009. Aplikasi Instrumen Akustik Multibeam dan Side Scan Sonar Di Perairan Sekitar Teluk Mandar Dan Selat Makasar. Skripsi (tidak dipublikasikan). Bogor. Institut Pertanian Bogor. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan.

Klien Associates, Inc. 1985. Side Scan Sonar Record Interpretation. New Hampshire. USA.

Russel, Ian. 2001. Basic Principles Of Hydrographic Surveying. Hydrographic Awarness. Seminar and Course: The Importance of Hydrographic Survey for Management and Development of The Coastal Zone; Jakarta, 24-27 April 2001

Tritech International Limited. 2008. Side Scan Sonar. http://www.starfishsonar.com/technology/sidescan-sonar.htm [28 Juni 2009]

Minggu, 15 April 2012

Ilmu Kelautan

Ilmu kelautan (oseanologi) merupakan cabang dari ilmu bumi yang mempelajari segala aspek dari samudera dan lautan.

Dengan bahasa lain, oseanologi merupakan studi ilmiah mengenai laut dengan cara menerapkan ilmu-ilmu pengetahuan tradisional seperti fisika, kimia, matematika, dan lain-lain ke dalam segala aspek mengenai laut.

Perhatian ilmiah akan kondisi laut Nusantara baru mulai tumbuh sekitar abad ke-18, ketika ekspedisi-ekspedisi ilmiah dari Eropa mulai meluncur ke Nusantara. Sayangnya, semua bahan-bahan ilmiah yang diperoleh dikirim ke negeri asal penyelenggara di Eropa.

Laboratorium kelautan yang pertama di Indonesia didirikan di Pasar Ikan, Jakarta, pada tahun 1905. Peristiwa ini menandai dimulainya kelembagaan ilmu kelautan dan merupakan cikal bakal lembaga yang sekarang bernama Pusat Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Setelah Indonesia merdeka di tahun 1945, perkembangan ilmu kelautan berjalan sangat tersendat karena kurangnya tenaga ahli dan fasilitas. Revitalisasi lembaga yang dulunya merupakan Lembaga Penelitian Laut baru dimulai sekitar tahun 1950-an.

Perkembangan yang lebih signifikan dimulai sejak dekade 1970-an, ketika Indonesia telah mempunyai sejumlah kapal-kapal riset modern dan ilmu ini diajarkan di berbagai perguruan tinggi di Indonesia.

Ilmu kelautan kini telah berperan penting dalam pembangunan di Indonesia, negara kepulauan terbesar di dunia. Indonesia mempunyai kekayaan laut yang melimpah.

Salah satu potensi besar dari laut Indonesia yaitu sebagai sumber obat. Ketika sumber hayati di darat kian langka akibat eksploitasi oleh manusia, perburuan mulai diarahkan ke laut untuk menggali potensi-potensi laut yang bermanfaat bagi manusia.

Pengembangan obat baru yang berasal dari biota laut, saat ini menjadi perhatian seluruh peneliti ilmu kelautan dan kimia bahan alam. Tingginya keanekaragaman hayati laut dan uniknya struktur metabolit sekunder yang dihasilkannya, merupakan dua hal yang menjadi daya tarik para ilmuwan.

Untuk mendapatkan obat-obat baru dari laut diperlukan adanya kerjasama antara berbagai bidang ilmu, yaitu bidang ilmu kelautan, farmasi, kimia organik, biologi laut dan kedokteran.

Peneliti bidang ilmu kelautan dan farmasi memberikan informasi mengenai mekanisme aktivitas metabolit sekunder di dalam tubuh mamalia. Kemudian bidang kimia organik berperan mengisolasi dan mendapatkan struktur model zat aktif dari bahan laut.

Sedangkan bidang biologi laut, memberikan informasi jenis biota sumber penghasil substansi aktif dan pengembangan kearah kultur jaringan untuk konservasi dan penggunaan secara berkelanjutan dari produk alam laut yang potensial.

Peranan ilmu kelautan, tidak kalah pentingnya untuk mempelajari perunutan senyawa dalam sistem kehidupan di laut. Potensi obat di laut apabila dapat dimanfaatkan dengan maksimal akan meningkatkan tingkat ekonomi negara karena dengan berkembangnya industri farmasi, maka akan meningkatkan devisa negara dan memperkecil tingkat pengangguran.

Melihat prospek ekonomi yang begitu besar dari sumber-sumber hayati di laut sebagai bahan obat-obatan, DKP lewat Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP) di lingkungan departemen itu menetapkan bioteknologi kelautan dan perikanan sebagai program unggulan atau program utama sejak tahun 2002.

SMK N 3 Sigli

SMK N 3 Sigli, adalah sebuah SMK negeri yang berada di kota Sigli yang mengusung kejuruan di bidang Kelautan dan Ilmu Teknik Informasi (IT).